Ketika Obat Tak Lagi Mempan: Kenali Fakta Mengejutkan Tentang Tuberkulosis Resistan Obat
Penulis: Anisa Salsabila, SKM
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan besar bagi kesehatan global. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang menyebar melalui droplet udara saat penderita batuk atau bersin (Kemenkes RI, 2020). Munculnya kasus tuberkulosis yang kebal terhadap pengobatan atau dikenal juga Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) menjadi ancaman baru yang semakin sulit diatasi. Pengobatan TB-RO tidak hanya lebih mahal tetapi juga memiliki efek samping serius, yang menambah beban bagi pasien dan sistem kesehatan (Li et al., 2016).
Laporan WHO dalam Global Tuberculosis Report 2024 mengungkapkan bahwa terdapat 175.923 kasus TB-RO yang terdiagnosis dan diobati pada tahun 2023. Indonesia menjadi negara dengan kasus TB-RO tertinggi ketiga di dunia setelah India (27%) dan Rusia (7,4%), dengan persentase kasus mencapai 7,4%, diikuti oleh China (7,3%) dan Filipina (7,2%) (WHO, 2024). Tingginya angka kejadian TB-RO di Indonesia menjadikan pemahaman lebih dalam mengenai penyakit ini sangat penting. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut terkait tuberkulosis resistan obat.
TBC Resistan Obat (TB-RO) terjadi ketika obat tidak lagi mempan karena bakteri Mycobacterium tuberculosis tidak lagi dapat dihancurkan oleh obat anti tuberkulosis (OAT). Kondisi ini biasanya terjadi akibat penggunaan obat yang tidak tepat atau penularan langsung dari pasien TB-RO lainnya (Kemenkes RI, 2020).
TB-RO diklasifikasikan berdasarkan tingkat resistansi sebagai berikut:
TB-RO terjadi ketika bakteri TBC mengembangkan resistansi terhadap terapi standar. Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap resistansi ini meliputi:
Pengobatan yang akan diberikan kepada pasien TB-RO disesuaikan dengan kondisi setiap pasien yang mengacu pada panduan pedoman jangka pendek dan jangka panjang. Pemberian pedoman memiliki beberapa ketentuan yang akan dijabarkan dibawah ini.
Pengobatan ini diberikan kepada pasien TB-RO yang tidak memenuhi kriteria untuk pengobatan dengan paduan jangka pendek seperti penderita pre-XDR, XDR, atau mereka yang gagal terapi jangka pendek. Pengobatan ini melibatkan kombinasi OAT lini kedua yang lebih kompleks dan membutuhkan pemantauan ketat (Kemenkes RI, 2020).
Pencegahan tuberkulosis resistan obat (TB-RO) merupakan langkah krusial dalam upaya mengendalikan penyebaran penyakit ini.
ISPA dan Pneumonia: Masalah Kesehatan pada Balita di Indonesia
Mumps Membuat Moms Khawatir? Kenali Penyebab, Gejala, dan Pencegahannya\
Hari Kanker Sedunia: Mengungkap Kanker Paling Mematikan !
Ditinjau oleh: Andika, SKM., M.Epid
Kemenkes RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.
Li, D., Ge, E., Shen, X., & Wei, X. (2016). Risk Factors of Treatment Outcomes for Multi-drug Resistant Tuberculosis in Shanghai, 2009-2012. Procedia Environmental Sciences, 36, 12–19. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.09.003
Restinia, M., Khairani, S., & Manninda, R. (2021). Faktor Resiko Penyebab Multidrug Resistant Tuberkulosis: Sistematik Review. Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal (PBSJ), 3(1), Article 1.
Seung, K. J., Keshavjee, S., & Rich, M. L. (2015). Multidrug-Resistant Tuberculosis and Extensively Drug-Resistant Tuberculosis. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5(9), a017863. https://doi.org/10.1101/cshperspect.a017863
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2023. World Health Organization. https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2023/11/Global-TB-Report-2023-2.pdf
World Health Organization. (2024). Global Tuberculosis Report 2024 (1st ed). WHO. https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2024
Xi, Y., Zhang, W., Qiao, R.-J., & Tang, J. (2022). Risk factors for multidrug-resistant tuberculosis: A worldwide systematic review and meta-analysis. PLOS ONE, 17(6), e0270003. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0270003
Tinggalkan Komentar